HARIANSUMEDANG.COM – Hampir setiap sore, Hassan Suhidin dan adiknya, Khairul, memanjat papan kayu reyot menuju perairan dangkal busuk di bawahnya.
Daerah pesisir di sekitar Pulau Berhala ini tertutup sampah, bangkai hewan, dan kotoran manusia, karena di sana tidak adanya sistem pengelolaan sampah.
Seolah tak menyadari keruhnya air, kedua bersaudara itu berjalan tanpa alas kaki sambil mengumpulkan botol plastik, papan kayu, atau lembaran logam — apa pun untuk mendapatkan uang saku.
“Kami tidak pernah terbiasa dengan baunya, tetapi kami tidak punya pilihan,” kata Hassan, 12 tahun.
Baca Juga:
Lagi – Lagi Ditemukan Wanita Tertua di Dunia Konon Usianya Telah 120 Tahun Kondisinya Masih Bugar
Sebuah Granat Bekas Perang Dunia I Buatan Jerman Masuk ke Mesin Pengupas Kentang di Hongkong
Asmida, ibunya Hasan dan Khairul, ia merasa tidak dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi anaknya.
Suaminya bekerja sebagai nelayan dan memperoleh penghasilan sangat kecil.
Seandainya situasi pangan keluarga semakin kritis, kedua putranya menghabiskan sore hari dengan mengumpulkan sampah untuk dijual.
” Saya tidak pernah ingin mereka menjadi pemulung. Saya ingin mereka bersekolah, mendapatkan pekerjaan dan tinggal di rumah yang layak,” katanya sambil menggendong putri bungsunya, Bulan.
Bulan menghabiskan waktunya bermain dengan mainan-mainan seadanya yang dibuat dari tutup botol plastik dan puntung rokok bekas yang dibawa pulang oleh saudara-saudaranya.
Baca Juga:
” Hoary Potter” Kelelawar Tercantik Dalam Ajang Kontes Memperingati Pekan Kelelawar Internasional
Bekas Istana Sang Otokrat Bangladesh Sheikh Hasina Akan Dijadikan Museum Pemberontakan
“Bulan, aku ingin dia jadi dokter. Tapi aku tidak bisa berjanji akan menyekolahkannya. Apakah aku telah gagal menjadi seorang ibu?” imbuh wanita berusia 30 tahun itu sembari berusaha menahan tangis.
Sumber : Channelnewsasia.com
(Tatang Tarmedi) ***